salam sahabat blog, kali ini saya akan berbagi ilmu pengetahuan tentang hadits, dalam pembahasan kali ini saya akan menampilkan ulasan dari makalah yang pernah saya buat.
baiklah mari kita simak bersama-sama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Sya’ir
Sya’ir di
kalangan bangsa arab sudah merupakan sesuatu kebangsaan bagi mereka. Bahkan,
sebelum islam datang, Ka’bah di jadikan sebagai tempat untuk melakukan
kompetensi pembacaan syi’ar. Ada tempat lain yang mereka gunakan seperti pasar
Ukaz. Ketinggian kemampuan mereka menyusun, mengolah kata dan menyampaikan
merupakan salah satu bukti ketinggian kebudayaan mereka. Agaknya kemampuan
mareka bersya’ir ini merupakan salah satu penyebab mu’jizat terbesar Rasulullah
saw adalah al-quran yang menggunakan uslub yang melebihi apa yang mereka
miliki. Dari sejarah di ketahui bahwa mu’jizat yang di berikan oleh para Nabi
saw melebihi kemampuan masyarakat pada waktu itu.
Oleh sebab
itu, dalam perkembangan islam selanjutnya, syi’ar tetap menjadi kebiasaan
bangsa arab dalam menguju kemampuan mereka. Kekeguman mereka terhadap al-quran
di lihat dari segi bahasanya membuat para syu’ara berfikir bahwa al-quran di
luar jangkauan kemampuan mereka.
Dalam
sejarahnya, ada seorang yang ingin menandingi al-quran, namun Allah telah menjamin
bahwa mereka tidak akan mampu. Bersya’ir sebagai suatu bentuk seni, tidak di
larang oleh Rasulullah saw. Akan tetapi isinya atau pesan yang di sampaikan
yang perlu menjadi perhatian umat Islam yang terlibat langsung dalam hal itu.
Hal itu terlihat dari dua hadis dan melarang sya’ir.
Pengertian syair
Kata sya’ir atau syi’ir (الشعر) menurut etimologi berasal dari
kata ‘شعر اوشعر’
yang berarti mengetahui atau merasakan. Adapun menurut terminology
terdapat beberaapa pendapat diantaranya:
“Suatu kalimat yang sengaja disusun dengan menggunakan irama dan
sajak yang mengungkapkan tentang khayalan dan imajinasi yang indah”[1]
Sya’ir ialah kalimat yang ber-muqaffa dan ber-wazan dengan disengaja. Karena itu, hal-hal serupa yang diucapkan secara tidak disengaja bukan dinamakan sebagai sya’ir.
Dr. Ubadah berkata – seperti halnya Imam Syafi’i dan Al-Ghazali berpendapat bahwa untaian sya’ir sama
saja dengan ucapan biasa. Yang baik darinya adalah baik, sedangkan yang buruk adalah buruk pula. Demikian pula mendengarkan sya’ir, ada yang mubah yang dianjurkan, yang wajib, yang makruh, dan yang
haram!
Kemudian ia membagi sya’ir menjadi tujuh bagian;
- Membangkitkan untuk berziarah ke
tempat-tempat suci, dan mengajak kaum Muslim dari seluruh penjuru bumi
agar bergegas menuju al-haramain asy-syarifain (Makkah dan
Madinah).
- Membakar semangat untuk berperang guna
membela akidah dan Negara.
- Menggambarkan sengitnya pertempuran,
kegagahan dalam perang tanding serta ketabahan para pemberani di saat-saat
yang genting.
- Mengenang jasa orang yang telah wafat.
- Melukiskan saat-saat yang penuh
kegembiraan dan kepuasan hati, baik untuk dikenang ataupun diharapkan
kelanggengannya.
- Melukiskan cinta yang suci, mengungkap
perasaan para pencinta dan mengharapkan pertemuan kembali setelah
berpisah.
- Melukiskan kebesaran Illahi dengan
menyebutkan sifat-sifat-Nya dengan segala keagungan yang memang layak
bagi-Nya.[2]
B. Sya’ir yang Diperkenankan
Sya’ir
sebagai perwujudan dari karya seni dan wadah kompetensi pribadi tidak oleh
Rasulullah saw. Hal itu dapat dilihat dari perlakuan Rasulullah saw ketika
beliau menyuruh seorang penyair untuk mendeklamasikan sya’ir.90 Begitu juga ketika beliau menyatakan
bahwa sebagian dari sya’ir itu adalah hikmat.91
Juga
dapat dilihat dari hadis berikut:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَصدق
كَلِمَةٍ قالها الشاعر كَلِمَةُ لَبِيدٍ أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللَّهَ
بَاطِلٌ وكاد أمية بن أبي الصلت أن يسلم
a) Arti Hadis
Dari abu hurairah, Rasulullah saw bersabda:
“kata yang paling bagus diucapkan oleh penyair adalah kata “Ketahuilah, segala
sesuatu yang tidak dalam ketentuan Allah adalah tidak baik”.
Hampir saja Umayyah bin Abi al-Shalt masuk
Islam.
b) Syarah Hadis
Dengan
memperhatikan informasi dari hadis diatas terlihat bahwa bukan bersya’ir yang
diperkenankan atau dilarang oleh Rasul. Akan tetepi isi atau pesan sya’ir itu.
Bahkan apabila pesan dan tuntunan Allah disampaikan dalam bentuk sya’ir mungkin
akan mudah menyentuh sasaran. Al-Qur’an sendiri secara susunan bahasanya
menandingi gaya sya’ir yang ada pada waktu itu. Karena akan sangat menggugah
peresaan pendengar jika penyampaiannya secara baik.
Sebagai
contoh, dalam membaca Al-Qur’an dengan melibatkan seni baca Al-Qur’an lebih
menyentuh kalbu dibandingkan dengan tidak, maka melibatkan seni atau sya’ir
dalam menyampaikan pesan-pesan agama mungkin akan mendapatkan sambutan yang
jauh lebih baik, apalagi orang tersebut seniman.
Jundup r.a. menceritakan hadits berikut:
بينما النبي ص.م. يمشى
اذاصابه حجرفعثر فذ ميت ا صبعه فقال: هل انت الا اصبع دميت وفى سبيل الله ما لقيت.
Artinya:
Ketika Nabi saw. sedang berjalan, tiba-tiba
terantuk batu sehingga beliau terjatuh dan salah satu tangannya terluka, lalu
beliau bersabda, “Tiadalah engkau ini melainkan sebuah jari yang terluka dengan
sedikit darah di jalan Allah.” (Riwayat Bukhari)
Disini Rasulullah saw. meniru atau menukil
syair yang pernah dikatakan oleh Abdullah ibnu Rawaahah, bukan berasal dari
diri beliau sendiri.[8]
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَسُعِلَتْ عَا ئِـشَةَ
ر.ع. : هَلْ كَانَ النَّبِيُّ ص.م. يَتَمَثَّلُ بِشَىْءٍ مِنَ الشِّعْرِ؟ قَالتْ :
كَانَ يَتَمَثَّلُ بِشِعْرِابْنِ رَوَاحَةَ وَ يَتَمَثَّلُ وَيَقُوْلُ : وَيَأْ
تِيْكَ بِلْأَخْبَارِ مَنْ لَمْ تَزَوِّدِ.
Artinya:
Siti Aisyah r.a. pernah ditanya, “Apakah Nabi
saw. menirukan sesuatu dari syair?” Ia menjawab, “Beliau pernah meniru syair
Ibnu Rawaahah dan pernah menirukan sebuah syair yang mengatakan, ‘Dan kelak
akan datang kepadamu berita-berita yang dibawa oleh seseorang yang tidak kamu
inginkan (kedatangannya)’.” (Riwayat Turmudzi)
ان من موجبات المغفرة بذ ل
السلا م وحسن الكلا م.
Artinya:
Sesungguhnya dari sya’ir itu lahir hikmah dan
dari bayan lahir sihir.[9]
Hikmah ialah perkataan yang benar sesuai
dengan kenyataan.
Pendapat lain menyatakan, yang dimaksud dengan
hikmah ialah ucapan yang memelihara diri dari ketololan dan kebodohan.
Diantara syair
itu ada yang mengandung hikmah, seperti syair yang menyangkut masalah ilmu
syariat, syair yang menyangkut nasehat, dan peribahasa yang dapat dimanfaatkan
oleh manusia. Syair-syair semacam itu dianjurkan untuk didendangkan dan di
pelajari.[10]
Di dalam “Al
Jamu’ul Kabir” diriwayatkan dari Ahmad bin Abi Bakar Al-Asadi dari ayahnya,
bahwa ia telah datang kepada Rasulullah. Ketika rasulullah mengetahui tentang
kepasihan lidahnya, Rasulullah berssabda:
“Betapa
bagusnya wahai saudaraku, apakah engkau dalam membaca Al-Quran juga dengan
kefasihanmu itu?”. Jawabnya: “ Tidak, tetapi yang telah kubaca tadi adalah
syair dari diriku sendiri, dengarlah!”. Kata Rasulullah: “Bacakanlah!”.
Ujarnya:
Suara
pendengki menawan hati mereka. Penghormatanmu yang sedikit terkadang mengangkat
kerendahan. Jika mereka mengungkapkan keburukan, ungkapkanlah yang sepadan.
Jika mereka mendiamkanmu, janganlah engkau tanya. Dan jika mereka menyakitimu,
biarkan. Apa yang dikatakannya, jangan kau katakana”.
Maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya dari syair . . . dan seterusnya
seperti hadits di atas.” Kemudian beliau membaca: “Qul huwallahu ahad”.
Jabir Ibnu Samurah r.a. menceritakan hadits
berikut:
جَالَسْتُ النَّبِىُّ ص.م.
أَكْثَرَ مِنْ مِا ئَةِ مَرَّةٍ فَكَانَ أَصْحَا بُهُ يَتَنَا شَدُوْنَ الشِّعْرَ
وَ يَتَذَا كَرُوْنَ أَشْيَاءَ مِنْ أَمْرِالجَا هِلِيَّةِ وَهُوَسَاكِتٌ
وَرُبَّمَا تَبَسَّمَ مَعَهُمْ.
Artinya:
Aku sering duduk bersama Nabi saw. lebih dari
seratus kali, para sahabatnya sering mendendangkan syair-syair serta saling
bercerita tentang berbagai peristiwa di masa jahiliyah, sedangkan beliau diam
saja dan adakalanya beliau ikut tersenyum bersama mereka. (Riwayat Turmudzi)
Hadits ini
menandakan bahwa Rasulullah saw. tersenyum ketika mendengar syair yang
mengandung hikmah sebagai ungkapan setuju.[11]
Syair
bergantung kepada bagaimana isinya, jika berisi tuntunan syara’, maka diperbolehkan.
Akan tetapi, apabila isinya bertentangan dengan ajaran Islam, maka tidak
diperbolehkan.[12]
C. Sya’ir yang Dilarang
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ
أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا93
a) Arti Hadis
Dari Ibn ‘Umar, Nabi Saw bersabda: “Lebih baik
perutmu diisi dengan nanah dari pada diisi dengan syair”.
b) Syarah Hadis
Apabila
hadis di atas dipahami secara tekstual, berarti bahwa sya’ir dan bersya’ir itu
dilarang (haram). Dalam hadis di atas Nabi saw menyatakan ketidaksenangan
beliau. Hal ini berbeda dengan hadis sebelumnya yang membolehkan sya’ir. Apakah
kedua hadis bertentangan, dapat dilihat sebab wurudnya. Hadis kedua ini
mempunyai sebab wurud ketika Rasulullah saw mengadakan perjalanan dan berada di
kota al- ‘Arj yang terletak 78 mil dari kota Medinah. Kota itu merupakan tempat
strategis pertemuan dari berbagai jurusan. Implikasinya, budaya dalam bentuk
sya’ir dari berbagai daerahpun bertemu di kota itu. Tiba-tiba di hadapan Rasul
ada yang membacakan sya’ir, kemudian beliau mengungkapkan hadis di atas.94
Menurut
nawawi, sya’ir yang dibacakan oleh orang itu berkemungkinan isinya tidak sopan
dan melanggar susila, atau mungkin karena penyairnya orang kafir.95[3]
Jika ada satu
kegiatan yang pada saat tertentu dibenarkan oleh Rasul dan disaat lain
dilarang, berarti materi dan performance dari kegiatan itulah yang menjadi
bahan pertimbangan, bukan kegiatannya.
Ketika melihat
hadis tentang pelarangan bersyair secara zahir, maka akan ditemukan pelarangan
untuk bersyair secara mutlak, sebab Rasulullah Saw menyebutkan bahwa “perut
seseorang dipenuhi oleh nanah (yang dapat merusaknya) lebih baik dari pada
dipenuhi oleh syair”, oleh karena itu terdapat beberapa ulama yang melarang
syair secara mutlak berdasarkan hadis tersebut.
Imam Ibnu Hajar berkata :
“Para ulama
terdahulu berbeda pendapat tentang apabila isi sebuah kitab seluruhnya adalah
syair, Al-Sya’bi beprndapat bahwa hal tersebut (kitab dipenuhi oleh syair)
tidak boleh, dan al-Zuhry berpendapat bahwa telah menjadi sebuah sunnah
terdahulu bahwa basamalah yidak boleh tercampur dengan syair, sementara Said
bin Jubair dan Jumhur serta pilihan al-Khatib bahwa buku yang dipenuhi dengan
syair dan basmalah tercampur dengan syair adalah boleh”
Sebenarnya hadis tentang pelarangan bersyair
memiliki asabab al-wurud sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari riwayat
Abu Said al-Khudri beliau berkata :
Artinya:
“Ketika kami
sedang berjalan bersama Rasulullah Saw di al-’Araj, tiba –tiba seorang penyair
membacakan syair kepada kami Rasul pun berkata : “Tahan Syaitan itu, …dst”
Ibnu Baththal berkata:
sebahagian
ulama berpendapat bahwa syair yang dimaksud dalam hadis adalah syair-syair yang
mengandung hujatan terhadap Rasulullah Saw . Akan tetapi Abu ubaid secara
pribadi berdasarkan kesepakatan ulama menganggap bahwa penafsiran tentang makna
syair adalah penafsiran yang salah sebab kaum muslimin telah sepakat bahwa satu
kalimat yang mengandung hujatan kepada
Rasulullah Saw
maka akan menjadikan kufur. Akan tetapi dikalangan sebahagian ulama melarang
syair dan bersyair secara mutlak hal tersebut didasarkan perkataan Rasulullah
Saw : “tahan Syaitan itu” dan firamn Allah yang Artinya: [2]
الْغَاوُونَ يَتَّبِعُهُمُ وَالشُّعَرَاءُ
Terjemahannya:
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh
orang-orang yang sesat.
(Q.S. al-Syu’ara’ : 224)
Berdasarkan
ayat dan hadis tersebut mereka yang melarang syair secara mutlak menganggap
bahwa syair dan bersyair merupkan pekerjaan syaitan yang sesat. Para ahli
tafsir seperti al-Thabary beliau berpendapat bahwa para ahli syair tersebut
mengikuti jejak orang-orang yang sesat bukan jejak orang-orang yang mendapat
petunjuk. Dan yang dimaksud dengan orang yang sesat menurut Ibnu Abbas adalah
para pembuat syair dari kalangan orang-orang kafir dan yang lainnya bependapat
yang dimaksud dengan orang sesat adalah Syaitan. Ikrimah berkata bahwa suatu ketika terdapat dua ahli syair yang saling
mencaci satu sama lain (dengan menggunakan syair), maka Allah menurunkan ayat ini
(al-Sya’ara’ : 224). Qatadah berpendapat bahwa para ahli syair memuji seseorang
dengan hal-hal yang bathil dan mencela dengan hal-hal yang bathil pula.
Imam
al-Qurthuby mengomentari hadis Abu Said al-Khudri dengan mengatakan bahwa para
ulama berkata bahwasanya Rasulullah Saw melakukan hal tersebut –yaitu mencela
penyair tersebut- karena beliau Saw telah mengetahui keadaan penyair tersebut,
karena penyair tersebut dikenal sebagai penyair yang menjadikan syair-syairnya
sebagai jalan untuk mendapatkan penghasilan sehingga dia berlebihan dalam
memuji ketika diberi, dan berlebihan dalam mencela ketika tidak diberi,
sehingga menyiksa manusia baik dari segi harta maupun kehormatan. Oleh karena
itu mereka yang melakukan hal ini wajib untuk diingkari. [3]
An-Nawawi berkata :
syair itu
hukumnya boleh selama tidak terdapat didalamnya hal-hal yang keji dan
sejenisnya.
Al-Mubarakfury berkata:
yang dimaksud
dengan memenuhi (perutnya dengan syair) adalah ketika syair telah menguasainya
dimana dia lebih disibukkan dengannya dari al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam
lainnya, maka hal tersebut menjadi SYAIR yang tercela apapun bentuknya.
Maka dari itu
Imam al-Bukhary dalam shahihnya memeberikan bab
khusus tentang syair dengan nama bab dibencinya syair ketika lebih mendominasi
manusia dari al-Qur’an dan dzikir kepada Allah. Jadi apabila seseorang
menjadikan al-Qur’an dan Ibadah kepada Allah sebagai kesibukan utama, maka
baginya boleh untuk membuat syair dan melantunkankannya selama syair tersebut
tidak bertentangan dengan aturan-aturan syari’at. [4]
Berdasarkan pada analisis dari pendapat para
ulama di atas dapat dipahami secara kontekstual bahwa hadis Rasulullah Saw yang
menyebutkan secara eksplisit larangan syair dan bersyair bersifat temporal
karena syair yang terlarang adalah syair yang mengandung pujian yang berlebihan
dan dicampuri dengan kebohongan serta syair yang mengandung cacian, celaan dan
hinaan terhadap harkat dan martabat manusia baik secara khusus maupun umum.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat penulis simpulkan bahawa hadis tentang larangan syair dan
bersyair bersifat temporal karena syair yang terlarang adalah syair yang
menyalahi aturan-aturan syariat, dan syair yang tercela adalah syair-syair yang
disusun untuk merendahkan martabat manusia secara umum dan kaum muslimin secara
khusus dan syair yang sangat menyibukkan melebihi kesibukan dalam membaca
al-Qur’an dan beribadah kepada Allah. Adapun syair-syair yang disusun dengan
tidak mengenyampingkan apalagi meninggalkan ibadah kepada Allah dengan tujuan
untuk menyadarkan manusia dari keterpurukan mereka atau membangkitkan semangat
kaum muslimin dan melemahkan semangat kaum kafir dan sesuai dengan al-Qur’an
dan Sunnah, maka syair tersebut adalah syair yang dibolehkan dan bahkan
mendapatkan posisi terpuji dalam Islam sebagaimana yang pernah diberikan kepada
para ahli syair dari kalangan sahabat seperti Hassan, Labid, Abdullah bin
Rawahah dan selainnya yang dikenal sebagai ahli syair pada masa mereka. Selian
itu larangan mutlak untuk menyusun syair dan melantunkannya hanya dikhususkan
kepada Rasulullah Saw dan tidak kepada umatnya.
Islam
adalah agama yang mudah karena ia diturunkan oleh Allah SWT yang Maha Tahu karakter dan kemampuan manusia.
Manusia adalah ciptaan Allah dan Dialah yang paling tahu apa yang tepat serta
mudah bagi ciptaan-Nya itu.
2 [2] AL-bukhari,
jus IV, h 73, Ibn Majah, Juz II, h. 1235, dan Ahmad bin Hanbal, juz I, h.269
dan 273
3 [3] Shahih al-Bukhari , jus IV, h. , shahih Muslim,
juz IV, h., Sunan Ibn Majah, juz II, h., dan Musnad imam Ahmad Hanbal, juz I,
h. 175,1777.
4 [4] Muhammad Shidiq Hasan, Ensiiklopedia hadis Sahih (PT Mizan
Publika) Hal 23.
5 [5] M. Nashiruddin al-
Albani, Ringkasan Shahih Bukhari 1 (Jakarta
; Gema Insani. Hak Cipta) Hal.69
7[7]
Yusuf Al Qaradhawi, Fatwa-Fatwa
Kontemporer 3 (Jakarta; Gema Insani. Hak Cipta) Hal.100
itulah tadi isi pokok dari makalah hadits tentang “PENELITIAN RASULULLAH TERHADAP SYA’IR”, semoga bermanfaat bagi para sahabat. terimakasih atas kunjungan anda, sertakan kritik dan saran anda ataupun pertanyaan anda terkait dengan materi. sekian wassalam.
penulis : Agus Irawan
0 komentar:
Posting Komentar