BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Peserta Didik
Dalam usaha mendefenisikan istilah peserta didik, terlebih
dahulu perlu dipahami beberapa sebutan lain dalam Bahasa Indonesia, yaitu
istilah murid, dan peserta didik. Istilah murid dipahami sebagai orang yang
sedang belajar, menyucikan diri, dan sedang berjalan menuju Tuhan. Peserta
didik dipahami sebagai pendidik menyayangi murid sebagaimana anaknya sendiri
dan dalam hal ini faktor kasih sayang pendidik terhadap peserta didik dianggap
kunci keberhasilan pendidikan. Adapun istilah peserta didik adalah sebutan yang
paling mutakhir, istilah ini menekankan pentingnya peserta didik berpartisipasi
dalam proses pembelajaran.[1] Dengan demikian, menurut Ahmad Tafsir yang
dikutip oleh Zainuddin et.al perubahan sebutan dari murid ke peserta didik lalu
menjadi peserta didik, bermaksud memberikan perubahan pada peran peserta didik
dalam proses belajar mengajar.[2]
Pendidikan umum, mengartikan peserta didik sebagai raw input
(masukan mentah) dalam proses trnsformasi yang disebut dengan pendidikan (Muri
Yusuf,1982:37). Lebih jauh dijelaskan bahwa peserta didik adalah anak yang
sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikologis (Muhaimin dan
Abdul Mujib,1993:177), untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga
pendidikan.
Pertumbuhan adalah perubahan yang terjadi dalam diri peserta
didik secara alami yang ditandai oleh pertumbuhan tubuh menjadi bertambah
besar. Adapun perkembangan adalah yang menyangkut jasmaniyah dan ruhaniah (Muri
Yusuf:37). Dengan adanya pertumbuhan dan perkembangan yang masih berjalan, maka
peserta didik dianggap belum dewasa hingga membutuhkan bimbingan orang lain
untuk menjadikannya dewasa (Abdul Mujib: 177). Sebab pendewasaan merupakan
tujuan dari pendidikan. Bimbingan dapat diberikan dalam berbagai lingkungan
pendidikan, yakni lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Abdul Mujib:25).
Menurut George R. Knight , sebagaimana dikuti oleh Abd.
Rahman Assegaf dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam, siswa
atau peserta didik dipandang sebagai anak yang aktif, bukan pasif yang hanya
menanti guru untuk memenuhi otaknya dengan berbagai informasi.Siswa adalah anak
yang dinamis yang secara alami ingin belajar, dan akan belajar apabila mereka
tidak merasa putus asa dalam pelajarannya yang diterima dari orang yang
berwenang atau dewasa yang memaksakan kehendak dan tujuannya kepada mereka.
Dalam hal ini, Dewey menyebutkan bahwa anak itu sudah memiliki potensi aktif.
Membicarakan pendidikan berarti membicarakan keterkaitan aktivitasnya, dan
pemberian bimbingan padanya.[3]
2
Peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus
sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta
didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta
didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri, yaitu:
- Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan , kemauan dan sebagainya.
- Mempunyai keinginan untuk berkembang kearah dewasa
- Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda
- Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu[4]
Literatur pendidikan terkni menuliskan bahwa sebutan anak
didik telah berubah menjadi peserta didik. Hal ini dikarenakan adanya pandangan
pencerahan bahwa peserta didik pada setiap proses interaksi dan komunikasi
terhadap sumber, dan bersifat sebagai objek juga sebagai subjek. Ketika potensi
anak masih minimal dan membutuhkan pertolongan manusia dewasa, maka sebutan
yang lebih tepat adalah peserta didik (objek) yang aktif. Akan tetapi, ketika
ia telah merespons setiap stimulus yang datang dengan motivasi yang telah
terbangun, ia pun aktif secara fisik dan mental mencari, merespon bahkan
menemukan sendiri informasi yang diinginkannya, maka sebutan baginya adalah
peserta didik (subjek) yang aktif.
Defenisi lain dalam khazanah pendidikan Islam klasik,
al-Subkiy menggunakan term thalib (jamak : thalabat atau thullab), mutafaqqih
(jamak : mutafaqqihun), faqih (jamak : fuqaha) dan tilmizd (jamak : talamizd)
untuk menunjukkan pada penuntut ilmu (pelajar) pada madrasah Nizhamiyah. Imam al-Haramayn disebut-sebut
pernah memakai perkataan faqih untuk menyapa murid-muridnya. Mengenai hal ini,
al-Subkiy melukiskan dengan indah sebuah dialog singkat yang terjadi antara
al-Juwayni dan murid kesayangannya, al-Ghazali, dalam bukunya berjudul thabaqat
al-Syafi’iyah al-Kubra.[5]
Term faqih dalam dialog dibuku tersebut menunjuk kepada
al-Ghazali yang dimaksud dengan faqih adalah orang yang mempelajari ilmu fiqih
dan istilah ini identik dengan istilah mutafaqqih. Sementara istilah thalib
(penuntut ilmu) biasa dipakai untuk orang yang belajar ilmu agama atau ilmu
umum sebab kedua-duanya disuruh dalam agama. Bedanya kalau yang pertama
hukumnya menjadi kewajiban bagi setiap muslim (fardhu ‘ain), maka yang kedua
hukumnya menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Sedangkan istilah tilmidz (murid) berasal dari akar kata
talammaza artinya belajar, bisa dua-duanya, agama maupun umum.
Berbeda dengan al-Juwayni, al-Ghazali memakai term thalib
ketika menyebut murid-muridnya di madrasah Nizhamiyah Baghdad. Beliau menjelaskan bahwa orang yang
mempelajari ilmu kalam, kebathinan, filsafat dan sufi disebut thalib. Dari
keterangan al-Ghazali ini dapat dipahami bahwa wacana ilmiah dan kegiatan studi
murid-murid madrasah Nizhamiyah Baghdad dibawah asuhannya meliputi semua ilmu
tersebut.[6]
3
Secara umum dalam pendidikan Islam pada hakikatnya Allah
Swt. Merupakan murabbi, mu’allim atau mu’addib, yang diistilahkan dengan
pendidik. Dialah yang mencipta dan memelihara (mendidik) seluruh makhluk
didunia ini termasuk manusia, baik dalam artian tarbiyah, ta’alim, maupun
ta’dib. Dengan demikian, dalam perspektif falsafah pendidikan Islam seluruh
makhluk ciptaan Allah Swt merupakan peserta didik. Namun secara khusus dalam
pendidikan Islam, peserta didik adalah seluruh al insan, al-basyar atau bani
adam yang sedang menuju al-insan al-kamil, baik dalam pengertian jismiyah
maupun ruhiyah.
B.
Esensi Peserta Didik dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islami
Dalam pandangan pendidikan Islam, untuk mengetahui hakikat
peserta didik, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pembahasan tentang
hakikat manusia, karena manusia hasil dari suatu proses pendidikan.
(Abdurrahman Shaleh,1990:45). Menurut konsep ajaran Islam manusia pada
hakikatnya, adalah makhluk ciptaan Allah yang secara biologis diciptakan
melalui proses pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung secara evolutif,
yaitu melalui proses yang bertahap. Sebagai makhluk ciptaan, manusia memiliki
bentuk yang lebih baik, lebih indah dan lebih sempurna dibandingkan makhluk
lain ciptaan Allah, hingga manusia dinilai sebagai makhluk lebih mulia, sisi
lain manusia merupakan makhluk yang mampu mendidik, dapat dididik, karena
manusia dianugerahi sejumlah potensi yang dapat dikembangkan. Itulah antara
lain gambaran tentang pandangan Islam mengenai hakikat manusia, yang dijadikan
acuan pandangan mengenai hakikat peserta didik dalam pendidikan Islam. Peserta
didik dalam pendidikan Islam harus memperoleh perlakuan yang selaras dengan
hakikat yang disandangnya sebagai makhluk Allah. Dengan demikian, sistem
pendidikan Islam peserta didik tidak hanya sebatas pada obyek pendidikan,
melainkan pula sekaligus sebagai subyek pendidikan.[7]
Dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, semua makhluk
pada dasarnya adalah peserta didik. Sebab, dalam Islam, sebagai murabbi,
mu’allim, atau muaddib, Allah Swt pada hakikatnya adalah pendidik bagi seluruh
makhluk ciptaan-Nya. Dialah yang mencipta dan memelihara seluruh makhluk. Pemeliharaan
Allah Swt mencakup sekaligus kependidikan-Nya, baik dalam arti tarbiyah,
ta’alim, maupun ta’adib. Karenanya, dalam perspektif falsafah pendidikan Islam,
peserta didik itu mencakup seluruh makhluk Allah Swt, seperti malaikat, jin,
manusia, tumbuhan, hewan, dan sebagainya.[8]
Namun, dalam arti khusus dalam perspektif falsafah
pendidikan Islami peserta didik adalah seluruh al-insan, al-basyar, atau bany
adam yang sedang berada dalam proses perkembangan menuju kepada kesempurnaan
atau suatu kondisi yang dipandang sempurna (al-Insan al-Kamil). Terma al-Insan,
al-basyar, atau bany adam dalam defenisi ini memberi makna bahwa kedirian
peserta didik itu tersusun dari unsur-unsur jasmani, ruhani, dan memiliki
kesamaan universal, yakni sebagai makhluk yang diturunkan atau dikembangbiakan
dari Adam a.s. kemudian, terma perkembangan dalam pengertian ini berkaitan
dengan proses mengarahkan kedirian peserta didik, baik dari fisik (jismiyah)
maupun diri psikhis (ruhiyah) – aql, nafs, qalb – agar mampu menjalankan
fungsi-fungsinya secara sempurna. Misalnya, ketika dilahirkan, fisik manusia
dalam keadaan lemah dan belum mampu mengambil atau memegang benda dan kaki
belum mampu melangkah atau berjalan.
4
Demikian benda dan kaki belum mampu melangkah atau berjalan.
Demikian juga, ketika dilahirkan dari rahim ibunya, ‘aql manusia belum dapat
difungsikan untuk menalar baik buruk atau benar salah. Melalui proses ta’lim,
tarbiyah, atau ta’dib, secara bertahap, ‘aql manusia diasah, dilatih, dan
dibimbing melakukan penalaran yang logis atau rasional, sehingga ia mampu
menyimpulkan baik-buruk atau benar-salah. Demikiah juga nafs, ketika manusia
dilahirkan dari rahim Ibunya, ia hanya cenderung pada pemenuhan kehendak atau
kebutuhan jismiyah, terutama makan-minum. Melalui proses ta’lim, tarbiyah atau
ta’dib, nafs manusia dilatih dan dibimbing untuk melakukan pengendalian,
pemeliharaan, dan pensucian diri. Akan halnya qalb, ketika manusia dilahirkan
dari rahim ibunya, ia hanya potensi laten yang belum mampu menangkap cahaya
(al-nur) dan memahami kebenaran (al-haqq). Kemudian, melalui proses ta’lim,
tarbiyah atau ta’dib, qalb manusia dibimbing sehingga mampu menangkap cahaya
(al-nur) dan memahami kebenaran (al-haqq) serta hidup sesuai dengan cahaya dan
kebenaran tersebut.
Dalam pengertian di atas, yang dimaksud dengan
kesempurnaan adalah suatu keadaan dimana dimensi jismiyah dan ruhiyah peserta
didik, melalui proses ta-lim, tarbiyah, atau ta’dib, diarahkan secara bertahap
dan berkesinambungan untuk mencapai tingkatan terbaik dalam kemampuan
mengaktualisasikan seluruh daya atau kekuatannya (quwwah al-jismiyah wa
al-ruhiyah). Dalam perspektif ini, secara sederhana, kesempurnaan dimensi
jismiyah adalah suatu kondisi dimana seluruh unsur atau anggota jasmani manusia
mencapai tingkatan terbaik dalam kemampuannya melakukan tugas-tugas
fisikal-biologis, seperti bergerak, berpindah dan melakukan berbagai aktivitas
fisikal lainnya. Demikian pula halnya dengan kesempurnaan dimensi ruhiyah.
Dalam makna ini, ‘aql, nafs, dan qalb peserta didik mencapai tingkatan terbaik
dalam berpikir atau menalar (al-‘aql al-mustasyfad), dalam mengendalikan dan
mensucikan diri (al-nafs al-muthmainnah), dan dalam menangkap cahaya dan
memahami kebenaran (qalb al-salim).[9]
Berdasarkan pengertian di atas, dalam perspektif falsafah
pendidikan Islami, pada hakikatnya semua manusia adalah peserta didik. Sebab,
pada hakikatnya, semua manusia adalah makhluk yang senantiasa berada dalam
proses perkembangan menuju kesempurnaan, atau suatu tingkatan yang dipandang sempurna,
dan proses itu berlangsung sepanjang hayat. [10]
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Rasyidin yang dikuti
oleh Zainuddin et.al dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, setidaknya ada 3
istilah peserta didik yang dapat dirangkum dalam esensi filsafat pendidikan
Islam.
5
Ketiga istilah tersebut yaitu pertama, term mengandung
pengertian bahwa peserta didik dalam arti mutarabbi manusia yang selalu
memerlukan pendidikan, baik dalam arti pengasuhan dan pemeliharaan fisik –
biologis, penambahan pengetahuan dan keterampilan, tuntunan dan pemeliharaan
diri, serta pembimbingan jiwa. Dengan demikian, mutarabbi mampu melaksanakan
fungsi dan tugas penciptaan Allah Swt. Tuhan maha pencipta, pemelihara dan
pendidik bagi alam semesta. Kedua, muta’allim, peserta didik mempelajari semua
al-asma’kullah yang terdapat pada ayat-ayat kauniyah maupun quraniyah dalam
rangka pencapaian pengenalan, peneguhan dan aktualisasi syahadah primordial
yang telah pernah ia ikrarkan di hadapan Allah Swt. Kemampuan peserta didik
merealisasikan terhadap apa yang pernah ia nyatakan ini merupakan essensi dari
peserta didik itu sendiri dalam filsafat pendidikan Islam. Ketiga, muta’addib,
merupakan proses pendisiplinan adab ke dalam jism, dan ruhnya, sehingga akal,
ruh dan hatinya pendisiplinan adab melalui mua’dib (pendidik). Esensinya dalam
mutaadib dalam pendisiplinan adab adalah ahklak, yaitu syariat yang menata
hubungan komunikasi antara manusia dengan dirinya sendiri, sesamanya dan
mahkluk Allah lainnya termasuk dalam semesta ini serta juga kepada sang
pencipta dan pemelihara serta pendidik alam semesta.
Dalam buku Filsafat pendidikan Islam yang ditulis oleh Hasan
Basri,dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, hakikat peserta didik terdiri
dari beberapa macam :
- Peserta didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya di dalam keluarga.
- Peserta didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan formal maupun non formal, seperti disekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan, sekolah keterampilan, tempat pengajian anak-anak seperti TPA, majelis taklim, dan sejenis, bahwa peserta pengajian di masyarakat yang dilaksanakan seminggu sekali atau sebulan sekali, semuanya orang-orang yang menimba ilmu yang dapat dipandang sebagai anak didik
- Peserta didik secara khusus adalah orang –orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.
Beberapa
hal yang terkait dengan hakekat peserta didik yaitu[11] :
- Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri.
- Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan
- serta tempo dan iramanya, yang harus disesuiakan dalam proses pendidikan.
- Peserta didik memiliki kebutuhan diantaranya kebutuhan biologis, rasa aman, rasa kasih sayang, rasa harga diri dan realisasi diri.
- Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat dan lingkungan yang mempengaruhinya.
6
- Peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia, walaupun terdiri dari banyak segi tetapi merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).
- Peserta didik merupakan obyek pendidikan yang aktif dan kreatif serta produktif. Anak didik bukanlah sebagai objek pasif yang biasanya hanya menerima, mendengarkan saja (Abdul Mujib dan Muhaimin, 1993 : 177-181)
C.
Potensi/Fitrah Peserta Didik
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia dan
sempurna (melebihi malaikat) apabila dapat memerankan tugas kekhalifahannya.
Namun jika manusia tidak dapat bertanggungjawab sebagai khalifah Allah dengan
baik dan benar, maka kedudukan manusia lebih rendah dari binatang.
Karena itu, agar dapat menjalankan fungsi kekhalifahanya
dimuka bumi, manusia di karuniai beberapa kekuatan yang dapat menimbulkan
kreativitas untuk menata alam melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dimilikinya. Untuk itu, Tuhan menganugerahkan
kepada manusia potensi-potensi[12] (fithrah) yang dapat dikembangkan melalui
proses pendidikan.[13]
Manusia diciptakan Allah bukan tanpa latar belakang dan
tujuan. Hal ini tergambar dalam dialog Allah dan malaikat diawal penciptaannya.
Tujuan penciptaan Adam sebagai nenek moyang manusia adalah sebagai khalifah.
Dalam kedudukan ini, manusia tidak mungkin mampu melaksanakan tugas
kekhalifahannya, tanpa dibelakangi dengan potensi yang memungkinkan dirinya
mengemban tugas tersebut.
Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab
mendefinisikan fitrah manusia kepada pengertian “fitrah (makhluk) adalah bentuk
dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang
berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang
berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya”. Dari pengertian tersebut dapat
diartiakan bahwa fitrah merupakan potensi yang diberikan Allah kepada manusia
sehingga manusia mampu melaksanakan amanat yang diberiakan Allah kepadanya yang
meliputi potensi seluruh dimensi manusia.
Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “setiap anak manusia
itu terlahir dalam fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang akan mewarnai (anak)
nya, apakah menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi” (HR Aswad Bin
Sari).
Dari makna hadis diatas memberikan pengertian secara
teoritis bahwa semakin baik penempatan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan
semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk
penempatan fitrah seseorang maka akan semakin buruk sifat dan tingkah lakunya.
Namun demikian, pendekatan tersebut hanya sebatas teoritis manusia, sedangkan
dosa balik itu dalam islam ada kemungkinan lain, yaitu hidayah dari Allah SWT
sebagai penentu yang Maha final.[14]
7
Dalam
perspektif Islam, potensi atau fitrah dapat dipahami sebagai kemampuan atau
hidayah yang bersifat umum dan khusus yaitu :
- Hidayah wujdaniyah yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi.
- Hidayah hisysyiyah yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan
- indrawi sebagai penyempurnaan hidayah wujudiyah.
- Hidayah aqliah yaitu potensi akal sebagai penyempurnaan dari kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini mampu berpikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepadanya untuk fungsi kekhalifahannya.
- Hidayah diniyah yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan aturan perbuatan yang tertulis dalam al-Qur’an dan Sunnah
- Hidayah taufiqiyah yaitu hidayah yang sifatnya khusus. Sekalipun agama telah diturunkan untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal dalam kendali agama. Untuk itu, agama menuntut agar manusia senantiasa berupaya memperoleh dan diberi petunjuk yang lurus berupa hidayah dan taufiq guna selalu berada dalam keridhaan Allah.[15]
Quraish
Shihab berpendapat bahwa menyukseskan tugas-tugas kekhalifan di muka bumi,
Allah memperlengkapi manusia dengan potensi-potensi tertentu, antara lain :
- Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi dan kegunaan segala macam benda. Hal ini tergambar dalam firman Allah SWT : “Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya.” (QS. 2 :31)
- Ditundukkan bumi, langit dan segala isinya, binatang-binatang, planet dan sebagainya olah Allah kepada manusia (QS. 45: 12-13)
- Potensi akal fikiran serta panca indera (QS. 67:23)
- Kekuatan positif untuk merubah corak kehidupan manusia (QS. 13:11)
Disamping
potensi yang bersifat di atas, manusia dilengkapi dengan potensi yang bersifat
Disamping potensi yang bersifat di atas, manusia dilengkapi
dengan potensi yang bersifat negatif yang merupakan kelemahan manusia, yaitu :
pertama, potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa, nafsu dan syetan. Hal ini
digambarkan dengan upaya syetan menggoda Adam dan Hawa, sehingga keduanya
melupakan peringatan Tuhan untuk tidak mendekati pohon terlarang (QS. 20 :
15-24). Kedua, banyak masalah yang tak dapat dijangkau oleh pikiran manusia,
khususnya menyangkut diri, masa depan, dan banyak hal lain yang menyangkut
kehidupan manusia.
8
Dalam pandangan lain, Hasan Langulung memandang bahwa pada
prinsipnya potensi manusia menurut pandangan Islam tersimpul pada sifat-sifat
Allah (asma’ul husna). Sebagai contoh sifat al-ilmu yang dimiliki Allah, maka
manusiapun memiliki tersebut. Dengan sifat al- ilmu, manusia senantiasa
berupaya untuk mengetahui sesuatu. Untuk mengaktiftkan potensi ini, maka Allah
menjadikan alam dan isinya termasuk diri manusia sebagai ayat Allah yang harus
dibaca dan dianalisa. Namun demikian, bukan berarti kemampuan manusia sama
tingkatannya dengan kemampuan Allah. Hal ini disebabkan karena perbedaan
hakekat keduanya. Manusia memiliki keterbatasan, sedangkan Allah tanpa batas.
Dari keterbatasan tersebut, menjadikan manusia sebagai makhluk yang memerlukan
bantuan untuk memenuhi keinginannya. Keadaan ini menyadarkan manusia akan
keterbatasan-nya dan ke-Mahakuasaan Allah. Dengan potensi ini, manusia dituntut
untuk senantiasa memiliki jalinan rohani kepada Allah, baik memiliki zikir atau
aktivitas zikir lainnya, mengingat manusia adalah ciptaan Allah yang dependen
pada yang Maha Pencipta.[16]
Karena adanya potensi yang positif dan negatif serta
keterbatasan manusia, maka Allah menganugerahkan kepada manusia berbagai
potensi pada manusia agar ia mampu mengetahui hakekat dan petunjuk-petunjuk
Allah. Firman Allah SWT :
Artinya
: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah tetaplah atas
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”
Pengertian fitrah yang ditunjukkan ayat di atas memberi
pengertian bahwa manusia ciptaan Allah dengan naluri beragama tauhid yaitu
Islam. Namun dalam pengembangan selanjutnya, Hasan Langulung memberi pengertian
fitrah yang lebih luas yaitu pada pengertian dasar yang dimiliki oleh setiap
manusia. Potensi tersebut merupakan embrio semua kemampuan manusia yang
memerlukan penempaan lebih lanjut dan lingkungan insani maupun non insani untuk
bisa berkembang. Untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya tersebut,
manusia memerlukan bantuan orang lain yaitu proses pendidikan.[17]
D.
Tugas dan Tanggungjawab Peserta Didik
Tujuan dari setiap proses pembelajaran adalah menta’lim,
mentarbiyah, atau menta’dibkan al-‘ilm ke dalam diri setiap peserta didik.
Al-‘ilm yang akan dita’-lim, ditarbiyah, atau dita’dibkan tersebut adalah
al-haqq, yaitu semua kebenaran yang datang dan bersumber dari Allah Swt, baik
yang didatangkan-Nya melalui Nabi dan Rasul, (al-ayah al-quraniyah), maupun
yang dihamparkan-Nya pada seluruh alam semesta, termasuk diri manusia itu
sendiri (al-ayah al-kauniyah). Al-‘ilm tersebut merupakan penunjuk jalan bagi
peserta didik untuk mengenali dan meneguhkan kembali syahadah primordialnya
terhadap Allah Swt sehingga ia mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan
keserharian. Karenanya, dalam konteks ini, tugas utama setiap peserta didik
adalah mempelajari al-‘ilm dan mempraktikkan atau mengamalkannya sepanjang
kehidupan.[18]
9
Berkenaan dengan tugas utama yang harus dilakukan peserta
didik ini, Rasulullah saw melalui salah satu hadis menegaskan : menuntut ilmu
merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat. Proses menuntut atau
mempelajari al-‘ilm itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membaca,
baik yang tersurat maupun yang tersirat, mengeksplorasi, meneliti, dan
mencermati fenomena diri, alam semesta, dan sejarah umat manusial
berkontemplasi, berpikir, atau menalar, berdialog, berdiskusi atau bermusyarah,
mencontoh atau meneladani, mendengarkan nasehat, bimbingan, pengajaran dan
peringatan, memetik ‘ibrah atau hikmah, melatih atau membiasakan diri, dan
masih banyak lagi aktivitas belajar lainnya yang harus dilakukan setiap peserta
didik untuk meraih al-ilm dan mengamalkannya dalam kehidupan.[19]
Seluruh aktivitas pembelajaran sebagaimana dipaparkan di
atas wajib ditempuh atau dilakukan peserta didik dalam proses belajar atau
menuntut al-‘ilm. Karenanya, peserta didik tidak boleh mencukupkan aktivitas
belajarnya pada suatu aktivitas saja. Dalam berbagai surah, alquran senantiasa
menyeru manusia untuk berpikir, mengingat, membaca, mengambil pelajaran,
memetik hikmah. Bereksplorasi, bertadabbur, dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan
agar peserta didik mengembangkan potensi jismiyah dan ruhiyahnya sehingga mampu
diberdayakan dalam rangka aktualisasi diri sebagai makhluk yang bersyahadah
kepada Allah Swt, beribadah secara tulus ikhlas hanya kepada-Nya, dan menjadi
khalifah atau pemimpin dan pemakmur kehidupan dibumi.[20]
Berkenaan dengan tanggung jawab, dalam perspektif
falsafah pendidikan Islami, tanggung jawab utama peserta didik adalah
memelihara agar semua potensi yang dianugerahkan Allah Swt kepadanya dapat
diberdayakan sebagaimana mestinya. Dimensi jismiyah wajib dipelihara, agar
secara fisikal peserta didik mampu melakukan aktivitas belajar, meskipun harus
melakukan rihlah ke berbagai tempat. Demikian
pula, dimensi ruhiyah juga wajib dipelihara, agar bisa difungsikan sebagai energi
atau kekuatan untuk melakukan aktivitas belajar. Ketika peserta didik tidak
mampu memelihara dimensi jismiyah dan ruhiyahnya, maka energi, daya, atau
kemampuan membelajarkan diri akan terganggu, bahkan bisa menjadi tidak mampu.
Karenanya, sebagaimana juga dikemukakan Nata, agar tetap mampu melakukan
aktivitas belajar, setiap peserta didik memerlukan kesiapan fisik prima, akal
yang sehat, pikiran yang jernih, dan jiwa yang tenang. Untuk itu, perlu adanya
upaya pemeliharaan dan perawatan secara sungguh-sungguh semua potensi yang bisa
digunakan untuk belajar atau menuntut ilmu pengetahuan.[21]
Athiyah
al-Abrasyi mengemukakan bahwa kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa
dilakukan peserta didik adalah :
- Sebelum memulai aktivitas pembelajaran, peserta didik harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari sifat yang buruk, karena belajar mengajar itu merupakan ibadah dan ibadah harus dilakukan dengan hati yang bersih.
- Peserta didik belajar harus dengan maksud mengisi jiwanya dengan berbagai keutamaan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
- Bersedia mencari ilmu ke berbagai tempat yang jauh sekalipun, meskipun harus meninggalkan
- keluarga dan tanah air.
10
- Tidak terlalu sering menukar guru, dan hendaklah berpikir panjang sebelum menukar guru.
- Hendaklah menghormati guru, memuliakan dan mengangungkannya karena Allah serta berupaya menyenangkan hatinya dengan cara yang baik.
- Jangan merepotkan guru, jangan berjalan dihadapannya, jangan duduk ditempat duduknya, dan jangan mulai bicara sebelum diizinkan guru.
- Jangan membukakan rahasia kepada guru atau meminta guru membukakan rahasia, dan jangan pula menipunya.
- Bersungguh-sungguh dan tekun dalam belajar
- Saling bersaudara dan mencintai antara sesama peserta didik.
- Peserta didik harus terlebih dahulu memberi salam kepada guru dan mengurangi percakapan dihadapan gurunya.
- Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajaran, baik diwaktu senja dan menjelang subuh atau diantara waktu Isya’ dan makan sahur
- Bertekad untuk belajar seumur hidup.[22]
E.
Sifat-Sifat Peserta Didik
Sesuai dengan karakter dasarnya, dalam Islam, ilmu itu
datangnya dari al-haq dan karenanya ia merupakan al-nur atau cahaya kebenaran
yang akan menerangi kehidupan para pencarinya. Sebagai al-haq, Allah Swt maha suci, dan kesuciannya hanya
bisa dihampiri oleh yang suci pula. Karenanya, sifat utama dan pertama yang
harus dimiliki peserta didik adalah mensucikan diri atau jiwanya (tazkiyah)
sebelum menuntut ilmu pengetahuan. Karena maksiat hanya akan mengotori jasmani,
akal, jiwa dan hati manusia, sehingga membuatnya sulit dan terhijab dari
cahaya, kebenaran, atau hidayah Allah Swt.
Setidaknya ada 3 hal yang menjadi titik fokus perhatian
peserta didik dan orang tua dalam mensucikan dirinya secara totalitas. Pertama,
suci ruhaniah yaitu peserta didik harus menjauhkan sifat-sifat yang dapat
merusakan atau paling tidak yang mengotori jiwa dari sucinya al-nur, atau
al-haq. Karena kekotoran jiwa akan mengakibat tertutupnya sinar illahiyah
menembus kalbu peserta didik. Ringkasnya al-‘ilm atau al-nur harus di ta’lim,
di tarbiyah atau dita’dibkan ke dalam jiwa peserta didik haruslah dalam keadaan
suci dan bersih, sehingga ia akan dapat tertanam dan bersemi dengan penuh
keberkahan di dalam sanubarinya.
Kedua, suci jasmaniah yaitu peserta didik harus mampu
menjauhkan dari dari mengkonsumsi makanan ataupun minuman yang tidak benar baik
dari segi jenis mampu sumber diperolehnya makanan/minuman tersebut. Makanan yang tidak benar/jelas,
bukan makanan yang diperoleh secara halal, akan mempengaruhi kepribadian
peserta didik dalam berperilaku, dan akan susah mendapatkan hidayah kebenaran
dari Allah Swt.[23]
Sebab itu, orang tua harus memberi makan peserta didik
dengan makanan yang baik dan halal serta bersih, sehingga nusrah Allah akan
dapat dengan mudah diterima oleh peserta didik. Disamping itu juga bersih badan
dari kotoran, najis serta lainnya yang dapat menggangu kesehatan fisik hidup
yang baik. Jangan biasakan peserta didik bergaul dengan lingkungan yang dapat
memberi pengaruh yang tidak baik dalam perkembangan kehidupan sosialnya.[24]
11
Hal ini akan berbias kepada terkontaminasinya pembiasaan
yang jelek kepada peserta didik. Makanya orang tau harus dapat menjaga dan
mengerti tentang ini, sehingga peserta didik dapat tumbuh dan kembang baik
secara ruhaniah, jasmaniah maupun sosialnya dengan penuh kebaikan.[25]
Zainuddin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, beliau
mengutip hadis Shahih Muslim dan Bukhari dalam mengemukakan sifat dan karakter
yang dimiliki anak didik. Berikut beberapa sifat dan karakter yang harus
dimiliki seorang anak didik:
1)
Memiliki sifat tamak dalam menuntut ilmu dan tidak malu-malu. Mujahid berkata,
“Pemalu dan orang sombong tidak akan dapat mempelajari pengetahuan agama.”
Aisyah berkata, “sebaik-baik kaum wanita adalah kamu wanita sahabat Anshar.
Merak tidak dihalang-halangi rasa malu tidak dihalang-halangi rasa malu untuk
mempelajari pengetahuan yang mendalam tentang agama.”
2)
Selalu mengulang pelajaran di waktu malam dan tidak menyia-nyiakan waktu malam
dan tidak
menyia-nyiakan
waktu.
3)
Memanfa’atkan/mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki.
4)
Memiliki keinginan/motivasi mencari ilmu pengetahuan.[26]
Peserta
didik hendaknya berupaya memiliki akhlak mulia, baik secara vertikal maupun horizontal
dan senantiasa mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan seperangkat ilmu
pengetahuan. Sebagai seorang peserta didik yang berupaya mencari ilmu
pengetahuan dan membentuk sikap dengan akhlak mulia, maka menurut Hamka peserta
didik dituntut bersikap baik pada setiap guru.[27]
Sikap
tersebut meliputi :
1)
Jangan cepat putus asa dalam menuntut ilmu
2)
Jangan lalai dalam menuntut ilmu dan cepat merasa puas terhadap ilmu yang sudah
diperoleh;
3)
Jangan merasa terhalang karena faktor usia
4)
Hendaklah diperbagus tulisannya supaya orang bsia menikmati hasil karyanya dan
membiasakan diri membuat catatan kecil terhadap berbagai ide yang sedang
dipikirkan;
5)
Sabar, perteguh hati dan jangan cepat bosan dalam menuntut ilmu
6)
Pererat hubungan baik dengan guru dan senantiasa hadir dalam majelis ilmiahnya,
hormati pendidik sebagai orang yang telah banyak berjasa dalam membimbing ke
arah kedewasaan, baik ketika proses belajar maupun setelah menamatkan pelajaran
padanya
7)
Ikuti instruksi guru dalam setiap proses belajar mengajar dengan khusyu’ dan
tekun
8)
Berbuat baik terhadap guru dan kedua orang tua, serta amalkan ilmu yang
diberikannya bagi kemaslahatan seluruh umat;
9)
Jangan menjawab sesuatu yang tidak berfaedah. Biasakan berkata sesuatu yang
bermanfaat karena itu sebagai ciri orang yang berilmu dan berfikiran luas;
12
10)
Ciptakan suasana pendidikan yang merespon dinamika fitrah yang dimiliki seperti
suasana gembira;
11)
Biasakan diri untuk melihat, memikirkan dan melakukan analisa secara seksama
terhadap fenomena alam semesta. Dengan ini maka peserta didik akan menyelami
kebesaran Allah dan selanjutnya berbuat kebajikan terhadap alam semesta.[28]
F.
Etika Peserta Didik
Sebagaimana dijelaskan oleh Asma Fahmi, bahwa setiap peserta
didik harus memiliki dan berprilaku dengan etika yang sesuai dengan ajaran
Islam, seperti berikut ini :
1)
Setiap peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum menuntut
ilmu, yaitu menjauhkan dari sifat-sifat yang tercela seperti dengki, benci,
menghasud, takabur, menipu, berbangga-bangga dan memuji diri serta menghiasi
diri dengan akhlak mulia seperti benar, takwa, ikhlas, zuhud, merendahkan diri
dan ridha;
2)
Hendaklah tujuan belajar itu ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat
keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan, dan bukan untuk bermegah-megah dan
mencari kedudukan. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ilallalah.
Konsekuensi dari sikap ini, peserta didikkan senantiasa mensucikan diri dengan
akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya, serta berupaya meninggalkan
watak dan akhlak yang rendah (tercela).
3)
Peserta didik tidak menganggap rendah sedikitpun pengetahuan-pengetahuan apa
saja karena ia tidak mengetahuinya, tetapi ia harus mengambil bagian dari
tiap-tiap ilmu yang pantas baginya, dan tingkatan yang wajib baginya;
4)
Peserta didik wajib menghormati pendidiknya
5)
Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh serta tabah dalam
belajar.[29]
Ibnu
Qayyim sendiri menjelaskan ada sebelas etika peserta didik , diantaranya;
- Jika peserta didik ingin meraih kesempurnaan ilmu, henadklah ia menjauhi kemaksiatan dan senantiasa menundukkan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan untuk dipandang
- Mewaspadai terhadap tempat-tempat yang menyebarkan lahwun (hidup kesia-siaan) dan majelis-majelis yang buruk’
- Bid’ah , sangat berbahaya bagi kebersihan hati.Hati yang telah tercemar noda bid’ah menjadi tidak mampu memahami Alquran, karena tidak bisa memahami Alquran kecuali hati yang suci.
- Senantiasa menjaga waktunya, dan jangan sekali-kali membuangnya dengan membicarakan hal-hal yang tidak berfaedah, berbohong, dan obrolan yang tidak jelas ujung pangkalnya. Dan janganlah sekali-kali mengatakan sesuatu yang tidak memiliki ilmu tentangnya
- Tidak berbicara kecuali ketika jika sudah jelas kebenarannya/ hakikatnya dan telah tampak masalah itu jelas baginya
13
- Menghindari diri membanggakan diri dengan harta, kedudukan dan kenikmatan dunia karena sangat dicela oleh syariat
- Hendaknya mengetahui bahwa hanya dengan ilmu derajat seseorang tidak bisa terangkat kecuali jika ilmu tersebut diamalkan
- Segera mengamalkan ilmu yang telah didapatinya agar selalu terjaga dan tidak mudah hilang
- Memiliki pemahaman yang baik dan niat yang lurus, supaya hatinya terjauhkan dari noda-noda bid’ah dan penyimpangan seseorabg
- Selalu mencari hakikat suatu masalah dan berusaha mendapatkannya dari mana saja sumbernya, sebagaimana wajib atasnya untuk tidak ta’ashshub (fanatic) kepada pendapat seseorang
- Jika peserta didik itu memiliki keutamaan dengan mendapat balasan dari Allah berupa dilapangkannya
- jalan menuju surge. Maka sepatutnya para peserta didik senantiasa mangingat pahala yang besar tersebut agar menjadi pendorong baginya untuk senantiasa giat mencari ilmu.[30]
Sedangkan
kode etik personal peserta didik yang harus dapat dilaksanakan oleh peserta
didik yaitu :
- Membersihkan hati dari kotoran, sifat buruk, aqidah keliru, dan akhlak tercela.
- Meluruskan niat, peserta didik harus menuntut ilmu demi Allah untuk menghidupkan syari’at Islam, menyinari hati dan mengasah batin dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya. Dengan belajar itu ia bermaksud hendak mengisi jiwanya dengan fadhilah, mendekatkan diri kepada Allah, bukanlah bermaksud menonjolkan diri;
- Menghargai waktu dengan cara mencurahkan perhatian sepenuhnya bagi urusan menuntut ilmu pengetahuan;
- Menjaga kesederhanaan makanan dan pakaian. Mengurangi kecederungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan amanat-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal;
- Membuat jadwal kegiatan yang ketat dan teratur. Peserta didik mengalokasikan waktu secara jelas kedalam satu jadwal kegiatan harian yang berisi kegiatan belajar yang relevan
- Menghindari makan terlalu banyak, yang terbaik adalah sedikit makan, selain makruh makan terlalu banyak juga akan menimbulkan malas dan kantuk bahkan serangan penyakit;
- Mengurangi konsumsi makanan yang bisa menyebabkan kebodohan dan lemahnya indera, seperti apel asam, kubis, atau cuka, juga kebanyakan lemak dapat menumpulkan otak dan menggemukan tubuh;
- Menimalkan waktu tidur, tetapi tidak mengganggu kesehatan. Penuntut ilmu tidak boleh tidur lebih dari delapan ham satu hari satu malam, sebab tidur hanya diperlukan dalam rangka istirahat serta menyegarkan kembali badan dan pikiran untuk kembali belajar.
14
- Membatasi pergaulan hanya dengan orang yang bisa bermanfaat bagi pelajar. Teman yang harus dicari ialah orang taat beragama, wara’, cerdas, baik dan gemar membantu, sebab bergaul dengan orang yang kurang peduli ilmu pengetahuan biasanya memboroskan harga serta menyia-nyiakan umur.[31]
Mengenai
adab Murid dan Guru Menurut Al-Ghazali, adab murid dan guru itu ada sepuluh
bagian:
1.
Hendaknya mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak dan keburukan
sifat, karena ilmu adalah ibadah hatinya,shalatnya jiwa, dan peribadatannya
batin kepada Allah.
2.
Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena ikatan-ikatan itu
menyibukkan dan memalingkan
3.
Tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidak bertindak
sewenang-wenang terhadap guru, bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya
kepadanya dan mematuhi nasehatnya seperti orang sakit yang bodoh mematuhi
nasehat dokter yang penuh kasih sayang dan mahir
4.
Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan
perselisihan di antara manusia, baik apa yang ditekuninya itu termasuk ilmu
dunia ataupun ilmu akhirat
5.
Seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji,
atau salah satu jenis ilmu, kecuali ia harus mepertimbangkan matang-matang dan
memperhatikan tujuan dan maksudnya
6.
Tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus tetapi menjaga urutan dan
dimulai dengan yang paling penting
7.
Hendaklah tidak memasuki satu cabang ilmu sebelum menguasai ilmu yang
sebelumnya
8.
Hendaklah mengetahui faktor penyebab yang dengannya ia bisa mengetahui ilmu
yang paling mulia
9.
Hendaklah tujuan murid di dunia adalah untuk menghias dan mempercantik batinnya
dengan
keutamaan,
dan di akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri
untuk bias berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan
orang-orang yang didekatkan.
10.
Hendaklah mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang
tinggi lagi dekat daripada yang jauh, dan yang penting daripada yang lainnya.[32]
Sementara dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 pasal 3 ditegaskan
pula bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Dari
tujuan ini terlihat jelas bahwa mewujudkna manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia merupakan substansi dari
kepribadian yang diinginkan dalam konsep pendidikan Islam itu sendiri.
15
Demikian pula peserta didik, juga diharapkan tidak terjebak
pada paham pragmatisme dan materialisme. Ada kecenderungan ketika peserta didik
bersikap demikian, maka guru pun kurang dihormati. Guru hanya dianggap sebagai
instrumen atau alat dalam pendidikan. Sebagaimana yang dikenal dalam falsafah
alat, ia akan digunakan selagi dibutuhkan. Ketika tidak lagi dibutuhkan, maka
guru pun tidak dihormati lagi.
Untuk itu, peserta didik juga harus memahami apa tugas dan
tanggung jawabnya sebagai peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam.
Peserta didik yang dalam pandangan pendidikan Islam sering disebut sebagai
murid sebenarnya memiliki arti ”orang yang menginginkan”. Artinya, seorang
murid atau peserta didik harus menunjukkan sikap yang membutuhkan kehadiran
seorang guru. Rasa ”membutuhkan” ini tentu tidak bersifat sesaat ketika ada
perlu saja, tetapi dalam pandangan pendidikan Islam, seorang guru tidak hanya
dihormati di saat belajar pada sekolah formal saja, sehingga disebut pula bahwa
”tidak ada mantan guru dalam pandangan pendidikan Islam”. Dengan konsep seperti
ini maka seorang peserta didik harus menunjukkan sikap kesungguhannya dalam
belajar dibarengi dengan adab-nya kepada guru dengan harapan ilmu yang ia
peroleh bermanfaat bagi dirinya.
Selain itu, peserta didik juga harus menuntut ilmu didasari
oleh motivasi awal, yaitu motivasi karena Allah SWT. Dengan motivasi ini, maka
selama dalam menuntut ilmu ia harus meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh
Allah SWT. Hal ini pula yang pernah dialami oleh Imam Syafi’i. Suatu ketika ia
pernah meminta nasehat kepada gurunya, Imam Waki’ sebagai berikut: “Syakautu
ilâ Waki’in sûa hifzi, wa arsyadani ilâ tarki al-maâhi, fa akhbarani bianna
al-‘ilma nūrun, wa nur Allahi la yubdalu al-âshi”. Dari nasehat ini, ada dua
hal yang perlu digarisbawahi, pertama, untuk memperkuat ingatan diperlukan
upaya meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat; dan kedua, ilmu itu adalah
cahaya yang tidak akan tampak dan terlahirkan dari orang yang suka berbuat
maksiat. Dengan demikian irsyâd merupakan aktivitas pendidikan yang berusaha
menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan kepribadian kepada
peserta didik, baik yang berupa etos kerjanya, etos belajarnya, maupun
dedikasinya yang serba li Allah Ta’ala.
PENDIDIKAN
Secara kodrati anak memerlukan pendidikan atau bimbingan
dari orang dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebututhan –
kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak yang hidup di dunia ini.
Rasulullah
SAW bersabda:
ما
من مولود الا يولد على الفطر فأبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه كما تنتح
البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون من جدعاء, ثم يقول أبو هريرة : وأقرءوا ان شئتم فطرة
الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذالك الدين القيم ( رواه مسلم )
16
Artinya:
“tiadalah orang dilahirkan melainkan
menurut fitrahnya, maka akibat kedua orang tuanyalah yang me-yahudikannya atau
me-nasranikannya atau me-majusikannya. Sebagaimana halnya binatang yang
dilahirkan dengan sempurna. Apakah kamu lihat binatang itu tiada berhidung dan
bertelinga? Kemudian Abi Hurairah berkata, apabila kamu mau bacalah Lazimillah
Fitrah Allah yang telah Allah ciptakan kepada manusia diatas fitrahnya. Tiada
penggantian terhadap ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus (islam).” (H.R.
Muslim)
Allah Berfirman :
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ
شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Q. S. An-Nahl
: 78)
Dari hadits dan ayat tersebut data disimpulkan bahwa manusia
itu untuk dapat menentukan status manusia sebagaimana mestinya adalah harus
mendapatkan pendidikan. Dalam hal ini keharusan mendapatkan pendidikan itu itu
jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan yang
antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Aspek Padagogis
b.
Aspek
Sosiologis dan Kultur
c.
Aspek
Tauhid
A. Aspek Padagogis
Dalam Aspek ini, para ahli didik memandang manusia sebagai
makhluk yang memerlukan pendidikan. Manusia dengan otensi yang dimilikinya
mereka dapat dididik dan dikembangkan kea rah yang diciptakan, setaraf dengan
kemampuan yang dimilikinya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
حق الوالدين على الوالدين ان يحسن
اسمه وادبه وان يعلمه الكتابة والسباحة والرماية وان لايرزقة الاه ايبا وان يزوجه
اذا ادرك
( رواه الحاكم )
17
Artinya:
“kewajiban
orang tua kepada anaknya adalah memberi nama yang baik, mendidik sopan santun
dan mengajari tulis menulis, renang, memamah, memberi makan dengan makanan yang
baik serta mengawinkannya apabila ia telah mencapai dewasa” (H. R. Hakim)
Islam
mengajarkan bahwa anak itu membawa berbagai potensi yang selanjutnya apabila
potensi tersebut dididik dan dikembangkan ia akan menjadi manusia yang secara
fisik dan mental memadai.
B. Aspek Sosiologis dan Kultur
Menurut ahli sosiologi, pada prinsipnya manusia adalah homosocius, yaitu makhluk yang berwatak dan
berkemampuan dasar atau yang memiliki insthink untuk hidup bermasyarakat.
Sebagai makhluk social manusia harus memiliki rasa tanggung
jawab social yang diperlukan dalam mengembangkan hubungan timbal balik dan
saling mempengaruhi antara sesame anggota masyarakat dalam kesatuan hidup
mereka, sebagaimana Firman Allah SWT :
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ
أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ
الْمَسْكَنَةُ
ۚ ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمْ
كَانُوا
يَكْفُرُونَ
بِآيَاتِ
اللَّهِ
وَيَقْتُلُونَ
الْأَنْبِيَاءَ
بِغَيْرِ
حَقٍّ
ۚ ذَٰلِكَ
بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
Artinya:
“Mereka diliputi kehinaan di mana
saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan
tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari
Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir
kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang
demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (Q.S. Ali Imran
:112)
Apabila manusia sebagai makhluk social itu berkembang, maka
berarti pula manusia itu adalah makhluk yang berbudaya baik moral maupun
material.
C. Aspek Tauhid
Aspek tauhid ini adalah pandangan yang mengakui bahwa
manuisa itu adalah makhluk yang berketuhanan yang menurut istilah ahli disebut Homodivinous (makhluk yang percaya
adanya tuhan) atau disebut juga Homo
religious artinya makhluk yang beragama.
`18
Adapun kemampuan dasar yang menyebabkan manusia menjadi
makhluk yang berketuhanan atau beragama adalah karena didalam jiwa manusia
terdapat insthink yang disebut (instink percaya pada agama). Itulah
sebabnya, tanpa melalui proses pendidikan instink religious atau garizah
Diniyah tersebut tidak akan mungkindapat berkembang secara wajar.
1. Pertumbuhan Anak (Manusia)
Menurut pendapat para ahli mengenai
periodesasi pertumbuhan anak itu dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu:
a.
Priodesasi
pertumbuhan yang berdasarkan biologis
b. Priodesasi pertumbuhan yang
berdasarkan Psikologis
c.
Priodesasi
pertumbuhan yang berdasarkan Didaktis
a) Priodesasi
pertumbuhan yang berdasarkan Biologis
Dalam Al-Qur’an surat Al-Mukmin ayat 67 Allah berfirman yang
artinya:
“ dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari
setetes air mani, setelah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu
sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada
masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, diantara kamu
ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami berbuat demikian) supaya kamu sampai
pada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami-Nya. (Q.S. Al-Mukmin: 67)
Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa anak itu tumbuh dan
pertumbuhan ini melalui beberaa fase :
1.
Masa
embrio
2.
Masa
kanak-kanak
3.
Masa kuat
(kuat jasmani atau rohani atau fikiran)
4.
Masa tua
5.
Meninggal
dunia
19
b) Priodesasi pertumbuhan yang berdasarkan Psikologis
Ahli
didik islam ialah Ali Fikri yang mempunyai perhatian pendidikan terhadap anak
yang berdasarkan psikologis, pertumbuhan anak itu melalui 12 fase yaitu:
1.
Masa
kanak-kanak : dari lahir sampai numur 7 tahun
2.
Masa berbicara
: mulai usia 8 tahun sampai 14 tahun
3.
Masa akil
balig : dari umur 15 sampai 21 tahun
4.
Masa
syabibah (adolesen) : dari umur 22 sampai 26 tahun
5.
Masa
rujulah (pemuda pertama atau dewasa) : dari umur 28 sampai 42 tahun
6.
Masa
kuhulsh : dari 43 sampai 49 tahun
7.
Masa umur
menurun : dari 50 sampai 56 tahun
8.
Masa
kakek-kakek/nenek-nenek pertama : dari umur 56-63
9.
Masa
kakek-kakek/nenek-nenek kedua : dari umur 63-75
10. Masa pikun dari 75-91
11. Akhirnya masa meninggal
c)
Priodesasi pertumbuhan yang berdasarkan Didaktis
Pertumbuhan yang didasarkan segi-segi didaktis atau
paedagogis ini terutama berasal dari sabda Rasul yang artinya :
“Berkata anas : bersabda Nabi Muhammad SAW : “anak yang hari
ketujuh dari lahirnya disembelihkan akikah dan diberi nama serta dicukur
rambutnya, kemudian setelah 6 tahun dididik beradab, setelah 9 tahun dipisah
tempat tidurnya, bila telah berumur 13 tahun dipukul karena meninggalkan
sholat, setelah umur 16 tahun dikawinkan oleh orangtuanya (ayahnya) kemudian
ayahnya berjabatan tangan dan mengatakan : saya telah mendidik kamu, mengajar
dan mengawinkan kamu, saya mohon kepada Tuhan agar dijauhkan dari fitnahmu di
dunia dan siksamu di akhirat…..
Dari hadits di atas dapat memberikan pengertian bahwa
pertumbuhan anak yang berdasarkan didaktis peadagogis mempunyai beberapa tahap
fase-fase pertumbuhan yang akan dilalui.
20
2.
Batas – Batas Pendidikan Islam
A. Batas Awal Pendidikan
Menurut para ahli mengatakan untuk
dapat memasuki pendidikan pra-sekolah sebaiknya setelah anak berumur 5 tahun,
sedangkan untuk dapat memasuki pendidikan dasar sebaiknya setelah anak berumur
7 tahun. Oleh karena itu manusia seyogyanya dibimbing dan diarahkan sejak awal
pertumbuhannya agar kehidupannya berjalan mulus. Pepatah arab mengatakan :
التعلم
فى الصغير كالنقس على الحجر
Artinya:
“belajar di waktu kecil bagai
mengukir di atas batu”
B. Batas Akhir pendidikan Islam
Tujuan pendidikan islam yaitu
membentuk kepribadian muslim. Mengingat untuk mewujudkan kepribadian itu sangat
sulit. Disamping itu sesudah terwujudnya kepribadian muslim diperlukan juga
pemeliharaan kestabilan kepribadian muslim tersebut diatas dan mengingat pula
sabda Rasulullah itu maka batas terakhir pendidikan islam yaitu : Sampai akhir
hayat. Begitu besar perhatian islam terhadap pentingnyapendidikan ini.
Sampai-sampai Rasulullah memerintahkan kepada umatnya yang sedang menunggui
orang yang akan sakaratul maut supaya menuntunnya untuk membaca kalimat LAILAHA
ILLALAH.
21
KESIMPULAN
Peserta
didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun
psikologis (Muhaimin dan Abdul Mujib,1993:177), untuk mencapai tujuan
pendidikan melalui lembaga pendidikan.
Dalam
perspektif falsafah pendidikan Islam seluruh makhluk ciptaan Allah Swt
merupakan peserta didik. Namun secara khusus dalam pendidikan Islam, peserta
didik adalah seluruh al insan, al-basyar atau bani adam yang sedang menuju
al-insan al-kamil, baik dalam pengertian jismiyah maupun ruhiyah.
Ketiga
istilah tersebut yaitu pertama, term mengandung pengertian bahwa peserta didik
dalam arti mutarabbi manusia yang selalu memerlukan pendidikan, baik dalam arti
pengasuhan dan pemeliharaan fisik – biologis, penambahan pengetahuan dan
keterampilan, tuntunan dan pemeliharaan diri, serta pembimbingan jiwa. Dengan
demikian, mutarabbi mampu melaksanakan fungsi dan tugas penciptaan Allah Swt.
Tuhan maha pencipta, pemelihara dan pendidik bagi alam semesta. Kedua,
muta’allim, peserta didik mempelajari semua al-asma’kullah yang terdapat pada
ayat-ayat kauniyah maupun quraniyah dalam rangka pencapaian pengenalan,
peneguhan dan aktualisasi syahadah primordial yang telah pernah ia ikrarkan di
hadapan Allah Swt. Kemampuan peserta didik merealisasikan terhadap apa yang
pernah ia nyatakan ini merupakan essensi dari peserta didik itu sendiri dalam
filsafat pendidikan Islam.
Peserta
didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan
menurut fitrahnya masing-masing, dimana mereka sangat memerlukan bimbingan dan
pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang
tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
Islam Memandang Manusia sebagai
objek pendidikan itu sejak lahir sebab manusia dilahirkan di dunia ini dalam
keadaan tidak berdaya. Allah SWT menjadikan manusia sebaik-baik bentuk dari
segi rohaniah maupun jasmaniah, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar
yang memiliki kecendrungan berkembangan, dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi atau disebut juga dengan istilah prepotence reflexes (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat
berkembang).
Dalam pandangan islam kemampuan
dasar itudisebut dengan fitrah, fitrah inilah yang kemudian diarahkan menuju
kebaikan, dengan memberikan pendidikan diniah, agar bisa menjadi manusia
seutuhnya yang dapat berbahagia di dunia lebih-lebih di akhirat.
Singkatnya pendidikan itu dimulai
sejak dalam kandungan ibu sampai liang lahad sebagaimana sabda rasul :
اطلب العلم من المهد
الى الهد
0 komentar:
Posting Komentar